A. Pengertian perikatan
Hukum perikatan di atur dalam Bab III
KUH Perdata.Namun demikian dalam bab III KUH Perdata tersebut tidak ada satu pasal
pun makna yang merumuskan masalah perikatan. Menurut subekti, perkataan
“perikatan”dalam buku III KUH Perdata mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan
perjanjian sebab dalam buku III itu di atur juga perihal hubungan hukum yang
sama sekali tidak bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu perihal
perikatan yang timbul dari perbuatan yang melanggar hokum dan perihal perikatan
yang timbul dari pengurusan orang lain yang tidak berdasarkan persetujuan. Tapi
sebagian besar dari buku III di tujukan pada perikatan yang timbul dari suatu persetujuan
atau perjanjian
.
Dalam pengetahuan hukum perdata,
perikatan diartikan sebagai hubungan hukum yang terjadi di antara dua orang
atau lebih yang terletak dalam lapangan harta kekayaan dimana pihak yang satu berhak
atas prestasi dan pihak lainnya wajib memenuhi prestasi itu.
Menurut Hofmann Dalam R. Setiawan berpendapat:
Perikatan adalah suatu hubungan hokum antara
sejumlah terbatas subyek-subyek hokum sehubungan dengan itu seorang atau beberapa
orang dari pada nya mengikatkannya diri nya untuk bersikap menurut cara-cara tertentu
terhadap pihak yang lain yang berhak atas sikap yang demikian itu.[1]
Adapun menurut pendapat Abdul kadir
Muhammad, bahwa perikatan adalah hubungan hukum yang terjadi antara orang yang
satu dengan yang lain karena perbuatan, peristiwa, atau keadaan. Sehingga dapat
dikatakan bahwa perikatan itu terdapat dalam bidang hukum harta kekayaan,
bidang hukum keluarga, bidang hokum waris, dan dalam bidang hukum pribadi.
B. Unsur-unsur Perikatan
Menurut Salim H. S., bahwa suatu perikatan
terdapat beberapa unsur pokok, antara lain: (1) Adanya kaidah hukum; (2) Adanya
Subyek hukum; (3) Adanya prestasi (obyek perikatan); (4) Dan dalam bidang tertentu[2].
Kaidah hukum perikatan meliputi: (1)
kaidah hokum tertulis yaitu kaidah hukum yang terdapat dalam undang-undang,
traktat, atau jurisprudensi; (2) kaidah hukum tidak tertulis yaitu kaidah hukum
yang hudip, tumbuh, dan timbul dalam praktik
kehidupan masyarakat (kebiasaan). Subyek hukum terdiri dari: (1) kreditor,
yaitu orang (badan hukum) yang berhakat asprestasi, (2) debitor, yaitu orang
(badan hukum) yang berkewajiban untuk memenuhi prestasi. Prestasi yaitu apa yang
menjadi hak kreditur dan kewajiban debitor. Prestasi terdiri dari: (1)
memberikan sesuatu, (2) dapat ditentukan, (3) mungkin dan diperkenankan, (4)
dapat terdiri dari satu perbuatan saja atau terus-menerus. Bidang yang dimaksud
adalah bidang harta kekayaan, yaitu menyangkut hak dan kewajiban yang dapat dinilai
uang.[3]
C. Obyek Perikatan
Obyek perikatan, yaitu yang merupakan hak
dari kreditor dan kewajiban dari debitor, yang menjadi obyak perikatan adalah prestasi,
yaitu hal memenuhi perikatan.
Macam prestasi adalah:
1. Memberikan
sesuatu, yaitu menyerahkan kekuasaan nyata atas benda dari debitor kepada kreditor,
seperti membayar harga dan lainnya
2. Melakukan
perbuatan, yaitu melakukan perbuatan seperti yang telah ditetapkan dalam perikatan,
misalnya: memperbaiki barang yang rusak dan lainnya
3. Tidak
melakukan suatu perbuatan, yaitu tidak melakukan perbuatan seperti yang telah di
perjanjikan, misalnya tidak mendirikan bangunan dan lain-lainnya.
D. Subyek Perikatan
Subyek perikatan adalah para pihak pada suatu
perikatan, yaitu kreditor yang berhak dan debitor yang berhak atas prestasi.
Pada debitor tersdapat dua unsur, antar lain schuld, yaitu uang debitor terhadap
kreditor dan hafting, yaitu harta kekayaan debitor yang di pertanggung jawabkan
bagi pelunasan utang.
Apabila seorang debitor tidak memenuhi atau
tidak menepati perikatan di sebut cedera janji (wanprestasi). Sebelum di
nyatakan cidera janji terlebih dulu di lakukan somasi, yaitu suatu peringatan kepada
debitor agar memenuhi kewajibannya.
1. Wanprestasi
Wanprestasi
adalah tidak memenuhi atau lalai melaksanakan kewajiban sebagaimana yang di
tentukan dalam perjanjian yang dibuat antara kreditor dan debitor.
Ada empat akibat wanprestasi, yaitu
a.
perikatan tetap ada
b.
debitor harus membayar ganti rugi kepada debitor, terdapat pada pasal 1243 BW
yang berbunyi “penggantian biaya, kerugian dan bunga karena tidak di
penuhinya suatu perikatan mulai diwajibkan, bila debitur, walaupun dinyatakan lalai,
tetap lalai untuk memenuhi perikatan itu, atau sesuatu yang harus di berikan atau di lakukannya hanya dapat
diberikan atau di lakukannya dalam waktu yang melampaui tenggang waktu yang di
tentukan[4]”.
c.
beban resiko beralih untuk kerugian debitor jika halangan itu timbul setelah wanprestasi
d.
jika perikatan lahir dari perjanjian timbal balik, kreditor dapat membebaskan diri
dari kewajibannya, dalam pasal 1266 BW, yang berbunyi “syarat batal di
anggap selalu di cantumkan dalam persetujuan yang timbal balik, andai kata
salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya, dalam hal demikian persetujuan tidak
batal demi hukum, tetap pembatalan harus di mintakan pada pengadilan.
Permintaan ini juga harus dilakukan, meski syarat batal mengenai tidak dipenuhinya
kewajiban di nyatakan di dalam persetujuan.Jika syarat batal tidak di nyatakan dalam
persetujuan, maka hakim dengan melihat keadaan, atas permintaan tergugat,
leluasa memberkasuatu jangka waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapi jangka waktu
itu tidak boleh lebih dari satu bulan”.[5]
2. Somasi
(ingebrekestilling)
Somasi
adalah teguran dari kreditur kepada debitur agar dapat memenuhi prestasi sesuai
dengan isi dari perjanjian yang telah di sepakati keduanya, ketentuan somasi di
atur dalam pasal 1238 dan 1243 KUH Perdata.
Ada 3 cara somasi, antara lain:
a. Debitor
melaksanakan prestasi yang keliru
b. Debitor
tidak memenuhi prestasi pada hari yang telah di janjikan
c. Prestasi
yang di lakukan oleh debitor tidak lagi berguna bagi kreditor karena
kadaluarsa.
Isi yang harus di muat dalam somasi
adalah, 1. Apa yang di tuntut, 2. Dasar tuntutan, 3. Tanggal paling lambat
memenuhi presasi.
Peristiwa-peristiwa yang tidak
memerlukan somasi antara lain:
1. Debitor
menolak pemenuhan
2. Debitor
mengakui kelalaian
3. Pemenuhan
prestasi tidak mungkin di lakukan
4. Pemenuhan
tidak lagi berarti
E. Sumber-sumber Perikatan
Menurut pasal 1233 BW sumber hokum
perikatan berasal dari perjanjian dan Undang-undang, selain itu Abdul Kadir
Muhammad menambahkan di samping perjanjian dan Undang-undang sumber hokum
perikatan juga dari kesusilaan.
A. Perjanjian
Berdasarkan pasal 1313 KUH Perdata
adalah sebuah perbuatan damana seseorang atau beberapa orang mengikatkan
dirinya kepada seseorang atau beberapa orang lain, yang memiliki unsure-unsur,
di antaranya:
1. Ada
pihak-pihak (subyek), sedikitnya dua pihak
2. Ada
persetujuan antara pihak-oihak yang bersifat tetap
3. Ada
tujuan yang akan di capai yaitu untuk memenuhi kebutuhan pihak-pihak
4. Ada
prestasi yang akan di laksanakan
5. Ada
bentuk tertentu, lisan atau tulisan
6. Ada
syarat-syarat tertentu sebagai isi perjanjian
Jenis perjanjian, di antaranya adalah:
1. Perjanjian
timbal balik dan perjanjian sepihak
2. Perjanjian
cumu-Cuma dan perjanjian atas beban
3. Perjanjian
bernama dan tidak bernama
4. Perjanjian
kebendaan dan perjanjian obligator
5. Perjanjian
konsensual dan perjanjian Riil
6. Perjanjian
public
7. Perjanjian
campuran
B. Perikatan
yang timbul karena Undang-Undang
Di dalam perikatan yang lahir dari
undang-undang ini asas kebebasan mengadakan perjanjian tidak berlaku, suatu
perjanjian menjadi perikatan adalah karena kehendak undang-undang, untuk
perikatan-perikatan yang lahir dari perjanjian maka pembentuk undang-undang
memberikan aturan-aturan yyang umum. Tidak halnya dari perikatan yang timbul
karena undang-undang, dimana pembentuk undang-undang tidak memberikan
aturan-aturan yang Umum, artinya apabila hendak mengetahui peraturan-peraturan
dari beberapa figure perikatan-perikatan tersebut, hal ini harus di lihat pada
peraturan yang mengetahui materi yang bersangkutan sendiri
Perikatan yang bersumber dari pada
undang-undang meliputi, di antaranya:
1. Perikatan
yang timbul dari undang-undang saja
Yaitu perikatan yang timbul
atau adanya hubungan kekeluargaan, misalnya hak dan kewajiban alimansi, dan hak
dan kewajiban antara pemilik pekarangan yang berdampingan
2. Perikatan
yang timbul dari undang-undang kerena perbuatan manusia
3. Menurut
pasal 1353 KUH Perdata, bahwa perikatan-perikatan yang di lahirkan oleh
undang-undang sebagai perbuatan manusia terbit dari perbuatan halal atau dari
perbuatan melawan hokum, sepintas bahwa dari perikatan yang timbul dari
perbuatan manusia yang menurut hokum juga persetujuan. Akan tetapi menurut
setiawan apabila merujuk pada pasal 1233 KUH Perdata secara tegas memisahkan
persetujuan daripada undang-undang, maka tentunya yang di maksud oleh pembentuk
Undang-undang adalah perbuatan-perbuatan melawan hukumyang bukan persetujuan[6].
[1]Subekti, Pokok-pokokHukumPerdata,
Jakarta: Intermassa, hlm. 22 sepertidalamTitiktriwulan, HukumPerdataDalamSistemHukumNasional
[2]TitikTriwulanTutik, HukumPerdataDalamSistemHukumNasional,
Jakarta: Kencana, hlm. 200
[3]Ibid,
hl. 201
[4]Kitab
undang-undang hokum perdata, Tangerang selatan: SL media
[5]Ibid
[6] TitikTriwulanTutik, HukumPerdataDalamSistemHukumNasional,
Jakarta: Kencana, hlm 240
Tidak ada komentar:
Posting Komentar