A.
Latar
belakang
Jarimah qishos dan jarimah diyah
adalah bentuk sanksi atau hukuman terhadap tindak pidana yang di lakukan oleh
seseorang yang di dalamnya mengandung unsur yang sangat di bebankan terhadap
pelakunya, di harapkan dengan adanya suatu hukuman ini mendatangkan efek jera
terhadap pelaku itu sendiri maupun bagi yang ada di sekitarnya atau yang ada
dalam masalah ini agar tidak mengulangi atau meniru tindak pidana tersebut.
Jarimah qishos adalah langkah preventif untuk menjerahkan tindak pidana
pembunuhan, ketika hukuman qishos di anggap sebagai hukuman yang kurang tepat
sebagai hukuman yang tepat dapat di jalankan hukuman diyah sebagai ganti dari
hukuman qishos, dengan berbagai pertimbangan tentunya, jarimah diyah dapat di
jalankan ketika adanya suatu kesepakatan di antara mereka yang menjadi korban
atau keluarga korban dan pelaku tindak pidana tersebut. Di adakan negosiasi
hukuman nantinya di dalamnya.
Hukuman qishos dapat di gantikan
oleh hukuman diyah dengan beberapa pertimbangan yang harus di lakukan terlebih
dahulu atau dengan syarat-syarat yang harus di penuhi oleh pelaku tindak
pidana.
B.
Rumusan
masalah
a.
Apakah
jarimah qishos itu?
b.
Apakah
jarimah diyah itu?
c.
Bagaimana
pergantian hukuman qishos dengan hukuman diyah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Jarimah
Qishos
Perdebatan di
kalangan ulama’ mengenai hukuman qishas kepada tindak pidana yang di anggap
perlu di berlakukannya hukuman ini, beberapa klasifikasi terhadap tindakan
pidana yang perlu di adakan hukuman qishos sangat luas dan sangat berfariatif,
contohnya adalah: hukuman qishos terhadap seseorang muslim yang membunuh
terhadap orang muslim lainnya yang bukan anaknya, dengan sengaja maka ia wajib
di hukum qishos, contoh lain adalah ketika ayah membunuh anaknya. Madzhab
Hanafi, Syafi’I dan Hambali mengatakan bahwasannya tidak di kenai hukuman
Qishos terhadap ayah tersebut, tetapi menurut yang wajib di bunuh qishos adalah
hanya sang ayah ketika membunuh dengan pembakaran, benda tajam atau kayu dan
batu yang tajam, ketika membunuhnya dengan menenggelamkan di air atau dengan
batu atau kayu yang tidak tajam maka tidak wajib di hukum qishos[1].
Di dalam hukuman qishos ini juga di jelaskan adanya suatu keharusan menyama
ratakan atau Kafa’ah antara pelaku dan korban untuk di jatuhkannya hukuman
qishos, jumhur ulama’ yang memegang kaidah itu adalah Malikiyah, Syafi’iyah dan
Hanabillah, menurut mereka orang muslim yang membunuh orang kafir tidak dapat
di kenai hukuman qishos karena tidak ada kesetertaan atau kafa’ah, muslim lebih
tinggi derajatnya dari pada orang kafir, demikian juga orang merdeka yang
membunuh budak tidak dapat di kenai hukuman qishos, tetapi ada ayat yang
mengatakan bahwasannya ketika seorang budak membunuh majikannya merdeka itu di
kenai hukuman qishos, dalilnya adalah : Surat Al Baqoroh ayat 178.
$pkr'¯»t tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä |=ÏGä. ãNä3øn=tæ ÞÉ$|ÁÉ)ø9$# Îû n=÷Fs)ø9$# ( çtø:$# Ìhçtø:$$Î/ ßö6yèø9$#ur Ïö7yèø9$$Î/ 4Ós\RW{$#ur 4Ós\RW{$$Î/ 4 ô`yJsù uÅ"ãã ¼ã&s! ô`ÏB ÏmÅzr& ÖäóÓx« 7í$t6Ïo?$$sù Å$rã÷èyJø9$$Î/ íä!#yr&ur Ïmøs9Î) 9`»|¡ômÎ*Î/ 3 y7Ï9ºs ×#ÏÿørB `ÏiB öNä3În/§ ×pyJômuur 3 Ç`yJsù 3ytGôã$# y÷èt/ y7Ï9ºs ¼ã&s#sù ë>#xtã ÒOÏ9r& ÇÊÐÑÈ öNä3s9ur Îû ÄÉ$|ÁÉ)ø9$# ×o4quym Í<'ré'¯»t É=»t6ø9F{$# öNà6¯=yès9 tbqà)Gs? ÇÊÐÒÈ
Artinya : Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang
mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti
dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada
yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu
keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah
itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih. Dan dalam qishaash itu ada (jaminan
kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.
Qishash dalam
surat ini adalah mengambil pembalasan yang sama. Qishas itu tidak dilakukan, bila
yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh Yaitu dengan
membayar diat (ganti rugi) yang wajar. pembayaran diat diminta dengan baik,
umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah
membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. bila ahli
waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan
si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, Maka terhadapnya
di dunia diambil qishaash dan di akhirat Dia mendapat siksa yang pedih.
Serta dalil
dari ibnu Abbas r.a ia berkata :la yuqtalu khurry bil ‘abdihi yang
artinya Rosululloh bersabda “orang merdeka yang membunuh budak tidak di
qishos”.[2]
Tetapi ulama’ hanafiyah tidak mengharuskan adanya kesetaraan atau kafaah dalam
qishos, alasannya adalah surat Al maidah
ayat 45 :
$oYö;tFx.ur öNÍkön=tã !$pkÏù ¨br& }§øÿ¨Z9$# ħøÿ¨Z9$$Î/ ú÷üyèø9$#ur Èû÷üyèø9$$Î/ y#RF{$#ur É#RF{$$Î/ cèW{$#ur ÈbèW{$$Î/ £`Åb¡9$#ur Çd`Åb¡9$$Î/ yyrãàfø9$#ur ÒÉ$|ÁÏ% 4 `yJsù X£|Ás? ¾ÏmÎ/ uqßgsù ×ou$¤ÿ2 ¼ã&©! 4 `tBur óO©9 Nà6øts !$yJÎ/ tAtRr& ª!$# y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbqßJÎ=»©à9$# ÇÍÎÈ
Artinya: Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At
Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung,
telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya.
Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi)
penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.
Jarimah qishos
adalah jarimah yang hukumannya telah di tentukan dalam syara’, jarimah qishos
dapat berpindah kepada jarimah diyah atau bahkan bebas daripada hukuman apabila
korban atau wali korban telah memaafkan pelaku tindakan. Adapun perbuatan yang
termasuk dalam jarimah qishos adalah pembunuhan dan pelukaan, pembunuhan
terbagi dalam tiga macam yakni pembunuhan sengaja. Pembunuhan semi sengaja, dan
pembunuhan kekeliruhan. Sedangkan pelukaan terbagi menjadi dua yakni pelukaan
sengaja dan pelukaan kekeliruhan[3].
Macam-macam
Jarimah qishos di antaranya:
a.
Pembunuhan
-
Pembunuhan
sengaja
Kaidahnya
adalah :
ما اقترن فيه الفعل المزهق للروح بنية القتل المجني عليه
Artinya adalah : pembunuhan yang di sertai niat atau maksud
menghilangkan nyawa korban
Pelaku pembunuhan
sengaja dalam islam dapat di kenakan hukuman qishos karena hokum qishos di
anggap sebagai hukuman tertinggi dalam al qur’an tetapi dapat di gantikan
dengan hukuman lain.
-
Pembunuhan
semi sengaja
Kaidahnya
adalah :
شبه العمد هو بما لا يقتل غالبا
Artinya :
pembunuhan semi sengaja adalah pembunuhan yang di lakukan dengan tidak
menggunakan alat yang melukai atau senjata tajam
Unsur
dalam pembunuhan semi sengaja adalah:
a.
pelaku
melakukan perbuatan yang mengakibatkan kematian
b.
ada
maksud penganiayaan atau permusuhan
c.
si
korban darahnya di lindungi
d.
yang
di gunakan membunuh umumnya tidak mematikan.
Kalau
seperti ini korban di larang melakukan hukuman qishos dikarenakan ketidak
sengajaan pelaku, maka alternative hukumannya adalah diyah.
-
Pembunuhan
kekeliruhan
Kaidahnya
adalah:
الخطاء هو عدم القصد في القتل و الضرب
Artinya adalah
: pembunuhan kekeliruhan adalah pembunuhan yang tidak di sertai niat untuk
membunuh atau menganiaya
Yang
di maksud pembunuhan karena kekeliruhan adalah perbuatan yang di bolehkan oleh
syara’ akan tetapi berdampang menghilangkan nyawa orang lain, contoh memburuh
binatang buruan tetapi ternyata pelurunya mengenai orang lain
b.
Pelukaan
-
Pelukaan
sengaja
-
Pelukaan
kekeliruhan
Unsur jarimah menurut A. Dzazuli
a.
Unsur
jarimah
-
Unsur
formal (al-Rukn al-Syar’I)
-
Al-Rukn
al-Madi
-
Al-Rukn
al-Adaby
b.
Unsur
khusus
Adalah unsure
yang terdapat pada suatu jarimah namun tidak ada dalam jarimah yang lain[4]
Ada kisah yang
di kutip oleh Abd-Qodir Awdah, salah seorang kabilah Gani membunuh Syas bin
Zuhair, datang Zuhair untuk meminta balasan terhadap suku Gani mereka bertanya:
“apa maksud dan dan kehendakmu atas kematian anakmu Syas?”, ia menjawab “saya
akan menuntut 3 hal atas kematian anakku, 1. Hidupkan kembali anakKu, 2. Isi
surbanku dengan binatang-binatang yang kau ambil ddari langit, 3. Serahkan suku
Gani dan akan saya bunuh sebagai balasan kematian anakku. Tuntutan ini akan
semakin rawan jika yang menjadi korban adalah keluarga raja atau orang terhormat”.
Hikmah di
berlakukannya hukuman qishos adalah sebagaimana di jelaskan oleh Al-Jurjawi
adalah keberlangsungan hidup manusia di dunis, karena itu islam menghukum orang
yang membunuh orang lain, hukuman tersebut pada dasarnya sebagai tindakan
preventif supaya manusia tidak saling membunuh terhadap sesamanya yang
mengakibatkan kekacauan dalam masyarakat, hukuman dalam islam bagi para
pembunuh adalah qishos dan diyah yang berupa harta benda, hikmah di adakannya
hukuman qishos adalah sebadgai penegakan keadilan dalam masyarakat sebagaimana
firman Alloh “an-nafsu bin-nafsy”, yang juga menghindari kemarahan dan
dendam dari keluarga yang terbunuh yang di khawatirkan ketika hukuman qishos
tidak di jalankan di aka nada saling membunuh semakin luas.[5]
B.
Jarimah
Diyat
Pengertian
diyah sebagaimana yang di kemukakan oleh Sayid Syabiq adalah yang artinya
sebagai berikut : diyah adalah sejumlah harta yang di bebankan kepada pelaku
karena terjadinya tindak pidana (pembunuhan atau penganiayaan) dan di berikan
pada korban atau walinya.[6]
Dari arti
tersebut dapat di pahami bahwasannya diyah merupakan uqubah maliyah (hukuman
yang bersifat harta), yang di serahkan kepada korban apabila ia masih hidup,
atau kepada wali (keluarganya) apabila ia sudah meninggal, bukan pada
pemerintah Para imam madzhab sepakat bahwasannya diyat
seorang laki-laki muslim dan merdeka adalah 100 unta yang di ambilkan dari
harta pembunuh dengan sengaja apabila dia di lepaskan dari jeratan hukuman
qishos yang diganti dengan membayar diyah. Para imam madzhab berbeda pendapat
mengenai diyah pembunuhaan yang di sengaja, menurut pendapat Hanafi dan Hambali
dalam salah satu riwayatnya, unta-unta diyat tersebut di bagi menjadi empat
bagian, masing-masing 25 ekor, keempat bagian itu adalah:
-
25
Ekor bintu makhad
-
25
ekor bintu labun
-
25
ekor hiqqoh
-
25
ekor jadz’ah
Sedangkan
Syafi’I dan Hambali mengatakan di ambil dari hiqqoh sebanyak 30 ekor, dan
jadz’ah 30 ekor.[7]
Jenis dan kadar
diyah ulama’ berbeda pandangan, imam malik, abu hanifah dan amam syafi’I
mengatakan diyah dapat di bayar dengan salah satu dari unta, emas, atau perak.
Sedangkan menurut imam abu yusuf, amam Muhammad ibn hasan, dan imam ahmad ibn
hambal jenis diyah itu ada enam macam yakni unta, emas, perak, sapi, kambing
atau pakaian.
Pemberatan dan
peringanan
Hikmah diyah
adalah untuk kepentingan dua belah pihak dari pihak yang terbunuh dan yang
membunuh, dia akan bertaubat karena mengerti akan berharganya kehidupan serta
bagi keluarga korban dapat memanfaatkan harta benda tadi untuk kepentingan
meringankan sedikit beban kesedihannya. Firman Alloh “Bagimu ada hukuman qishos
untuk kelangsungan hidup bagi orang yang berakal supaya menjadi orang yang
bertaqwa”.[8]
C.
Proses
berpindahnya hukuman jarimah qishos kepada jarimah diyah
Apabila
seseorang telah melakukan tindak pidana yang dapat di kenakan hukuman qishos
maka pelaku tersebut harus benar-benar di qishos ketika tindak pidana tersebut
adalah atas selain jiwa dengan sengaja, dengan beberapa ketentuan tentunya,
hukuman pokok (dalam hal ini adalah qishos) dapat di gantikan dengan hukuman
diyah bahkan ta’zir dengan catatan dan ketentuan yang harus ada. hukuman
pengganti tidak dapat di laksanakan kecuali hukuman pokok tidak dapat di
laksanakan. Dasar hukuman diyah sebagai hukuman pengganti dari qishos adalah
surat An-Nisa’ ayat 92 yang artinya : dan barang siapa membunuh seorang mukmin
karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan hamba sahaya yang beriman serta
membayar diyah yang di serahkan kepada keluarganya (terbunuh) kecuali jika
mereka (keluarga terbunuh) bersedekah (QS An-Nisa 92)
Serta hadits di bawah ini juga dapat manjadi
dalil di gantinya qishos ke diyah Dari Abi Syuriyah Al-Khuza’I ia berkata,
telah bersabda rosululloh “maka barang siapa yang salah satu keluarganya
menjadi korban pembunuhan setelah ucapanku ini, maka keluarganya punya dua
pilihan, ada kalanya memilih diyah, atau memilih qishos (HR Abu Dawud dan
Nasa’I).”
Hukuman
pengganti selanjutnya adalah ta’zir, ta’zir dapat di lakukan ketika pengganti
pertama (diyah) tidak dapat di lakukan, ada perdebatan mengenai penerapan
hukuman ta’zir, Malikiyah mengatakan hukuman ta’zir harus tetap di lakukan
sebagai pengganti diyah yakni di dera sebanyak 100 kali serta di asingkan
selama satu tahun, alasannya adalah atsar dan dhoif dari Umar. Sedangkan
menurut jumhur ulama’ hukuman ta’zir tidak dapat di lakukan melainkan di
serahkan kepada hakim untuk memutuskannya, dalam hal ini hakim di berikan
kewenangan memutuskan hukuman setelah melihat dan mempertimbangkan tindak
pidana yang di lakukan pelaku.
Sebab terhalangnya hukuman qishos yang
nantinya akan di gantikan diyah di antaranya adalah:
a.
Korban
merupakan bagian dari pelaku
b.
Tidak
ada keseimbangan antara korban dan pelaku
c.
Perbuatan
yang di lakukan merupakan perbuatan yang menyerupai sengaja
d.
Tindak
pidana terjadi di Dar al-harb
e.
Perbuatan
di lakukan secara tidak langsung
f.
Qishos
tidak mungkin di laksanakan
Di samping
terhalangnya qishos seperti di atas, dapat juga qishos gugur karena beberapa
sebab, di antaranya adalah :
a.
Tidak
adanya tempat
Hukuman
qishos terhalang karena yang akan di qishos tidak ada, misalnya pelaku memotong
tangan orang, maka ia harus di qishos potong tangan, tetapi ketika akan di
potong tangannya sudah ada, maka hukuman qishos terhalang, itu pun masih dalam
tatanan perdebatan para ulama’, menurut imam malik pelaku tidak di kenai
hukuman apa-apa, alasannya adalah dalam jarimah qishos hak korban adalah
qishosnya sendiri, apabila qishos itu gugur maka gugurlah hukuman
tersebut.menurut Abu hanifah harus tetap di lihat sebab hilangnya yang akan di
qishos, ketika hilangnya tangan tersebut karena penyakit, kecelakaan, atau di
aniaya maka ia bebas dari hukuman, ketika sebabnya karena di qishos maka ia
harus kena diyah.
b.
Pengampunan
Pengampunan
Mempunyai 2 artian ganda yakni memang murni pengampunan dari qishos saja, atau
pengampunan hukuman qishos di alihkan terhadap hukuman diyah.
c.
Perdamaian
Baik
korban, atau wali di perbolehkan untuk mengadakan perdamaian dalam hal
penggantian hukuman qishos dengan imbalan yang sama dengan diyah atau bahkan
lebih berat dari diyah.dengan catatan walinya tidak dapat mengadakan negosiasi
di bawah hukuman diyah karena dapat merugikan korban.[9]
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
Kesimpulan
Penerapan
hukuman qishos terhadap tindak pidana yang memang harus di lakukan ketika
tindakan tersebut memang langkah preventif untuk memberikan langkah atau efek
jera terhadap pelaku serta pada semua yang melihat, ada di sekitar dan yang
faham akan beratnya hukuman ini, qishos di lakukan ketika seseorang telah
menjadi korban tindak pidana jiwa dan selain jiwa tersebut, hukuman qishos di
lakukan ketika korban atau keluarga korban memberikan jalan di lakukannya
hukuman tersebut, dapat di katakan bahwasanya terserah korban menindak lanjuti
hukuman terhadap pelaku tersebut.
Diyah dalam
tataran hukuman bagi tindak pidana jiwa adalah sebagai pengganti hukuman pokok
ketika hukuman pokok tidak dapat di lakukan, atau ketika korban atau keluarga
korban memaafkan atau mengampuni pelaku dari hukuman qishos maka hukuman ta’zir
lah yang harus di terapkan terhadap pelaku tindak pidana tersebut, ada juga
hukuman ta’zir ketika hukuman diyah tidak dapat di laksanakan maka hukuman
ta’zirlah yang harus di terapkan.
Pergantian
hukuman qishos terhadap hukuman diyah dapat di lakukan dengan beberapa
ketentuan yang harus di laksanakan, hadits di bawah ini dapat manjadi dalil di
gantinya qishos ke diyah Dari Abi Syuriyah Al-Khuza’I ia berkata, telah
bersabda rosululloh “maka barang siapa
yang salah satu keluarganya menjadi korban pembunuhan setelah ucapanku ini,
maka keluarganya punya dua pilihan, ada kalanya memilih diyah, atau memilih
qishos (HR Abu Dawud dan Nasa’I).” ketika ada persetujuan dari korban atau wali
korban vahwa pelaku tidak di hokum qishos maka hukuman diyah harus di jalankan.
[1]
Muhammad Bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih empat Madzhab. (bandung,
Hasyimi, 2010) hal 421
[2]
Jaih Mubarok, Enceng Arif Faizal, Kaidah Fiqh Jinayah, (Bandung, pustaka
bani quraisy, 2004) hal 165
[3]
Pengantar H. A. Djazuli dalam buku
kaidah Fiqih jinayah pengarang Jaih mubarok dan Enceng Arif Faizal
[4]
Ahmad Djazuli, fiqh jinayah, (Jakarta, PT GRAFINDO PERSADA, 1997) hal 12
[5]
Makhrus Munajat, hukum pidana islam di Indonesia, (Yogyakarta, TERAS,
2009) hal 167
[6]
Ahmad Wardi Muslich, hukum pidana islam, (Jakarta, sinar grafika, 2005)
hal 167
[7]
Muhammad Bin ‘Abdurrahman ad-Dimasyqi, Fiqih empat Madzhab. (bandung,
Hasyimi, 2010) hal 428
[8]
Makhrus Munajat, hukum pidana islam di Indonesia, (Yogyakarta, TERAS,
2009) hal 167
[9]
Ahmad Wardi Muslich, hukum pidana islam, (Jakarta, sinar grafika, 2005)
hal 195
Tidak ada komentar:
Posting Komentar