A. Pengertian konflik
Konflik merupakan suatu gejala yang tidak dapat dipisahkan dalam
masyarakat. Fenomena konflik tersebut mendapat
perhatian bagi manusia, sehingga muncul penelitian-penelitan yang menciptakan
dan mengembangkan berbagai pandangan tentang konflik. Diantaranya
ialah Charles Watkins yang memberikan suatu analisis tajam tentang kondisi dan
prasyarat terjadinya suatu konflik. Menurutnya, konflik terjadi bila terdapat
dua hal. Pertama, konflik bisa terjadi bila sekurang-kurangnya terdapat dua
pihak yang secara potensial dan praktis/operasional dapat saling menghambat.
Secara potensial artinya, mereka memiliki kemampuan untuk menghambat.[1]
Secara praktis/operasional maksudnya
kemampuan tadi bisa diwujudkan dan ada didalam keadaan yang memungkinkan
perwujudannya secara mudah. Artinya, bila kedua belah pihak tidak dapat
menghambat atau tidak melihat pihak lain sebagai hambatan, maka konflik tidak
akan terjadi. Kedua, konflik dapat terjadi bila ada sesuatu sasaran yang sama-sama
dikejar oleh kedua pihak, namun hanya salah satu pihak yang akan memungkinkan
mencapainya.
Kemudian, Joyce Hocker dan William
Wilmt di dalam bukunya yang berjudul interpersonal conflict, berupaya untuk
memahami pandangan tentang konflik. Pada umumnya pandangan tentang konflik
dapat digambarkan sebagai berikut ;
1. konflik adalah hal yang abnormal karena hal normal adalah
keselarasan. Bagi mereka yang menganut pandangan ini pada dasarnya bermaskud
menyampaikan bahwa, suatu konflik hanya merupakan gangguan stabilitas.
2. konflik sebenarnya hanyalah suatu perbedaan atau salah paham. Mereka yang
perpendapat seperti ini menganggap bahwasanya konflik hanyalah kegagalan
berkomunikasi dengan baik, sehingga pihak lain tidak dapat memahami maksud kita
yang sesungguhnya.
3. konflik adalah gangguan yang hanya terjadi karena kelakuan orang-orang yang
tidak beres. Menurut penganut pendapat ini,
penyebab suatu konflik adalah anti sosial.
B. Definisi Konflik Politik
Pengertian konflik merupakan suatu perselisihan yang terjadi antara dua
pihak, ketika keduanya menginginkan suatu kebutuhan yang sama dan ketika adanya
hambatan dari kedua pihak.[2]
Istilah konflik dalam ilmu politik seringkali dikaitkan dengan kekerasan
seperti kerusuhan, kudeta, terorisme,danrefolusi. Konflik mengandung pengertian
“benturan” seperti perbedaan pendapat, persaingan, dan pertentangan antar
individu dan individu, kelompok dan kelompok, antara individu dan kelompok atau
pemerintah.[3] Jadi konflik politik dirumuskan secara luas sebagai perbedaan pendapat, persaingan, dan
pertentangan diantara sejumlah individu, kelompok ataupun oraganisasi dalam upaya mendapatkan atau mempertahankan sumber-sumber dari keputusan
yang dibuat yang dilaksanankan oleh pemerintah. Yang dimaksud dengan pemerintah
meliputi lembaga legeselatif, yudikatif dan eksekutif. Sebaliknya secara sempit
konflik politik dapat dirumuskan sebagai kegiatan kolektif warga masyarakat
yang diarahkan untuk menentang kebijakan umum dan pelaksanaannya,juga prilaku
penguasa, beserta segenap aturan, struktur, dan prosedur yang mengatur
hubungan-hubungan diantara partisipan politik.[4]
C.
Penyebab
Konflik Politik
Pada dasarnya konflik politik disebabkan oleh dua
hal. Konflik politik itu mencakup kemajemukan horizontal dan kemajemukan
vertical. Yang dimaksud dengan kemajemukan horizontal ialah struktur masyarakat
yang majemuk secara cultural, seperti suku bangsa, daerah, agama, dan ras. Kemajemukan
horizontal cultural dapat menimbukan konflik karena masing-masing unsure
cultural berupaya mempertahankan identitas dan karakteristik budayanya dari
ancaman kultur lain.
Dalam masyarakat yang berciri demikian ini, apabila
belum ada suatu consensus nilai yang menjadi pegangan bersama, konflik politik
karena benturan budaya akan menimbulkan perang saudara ataupun gerakan
separatism (faham politik yang menekankan kebebasan). Kemajemukan horizontal
social dapat menimbulkan konflik sebab masing-masing kelompok yang berdasarkan
pekerjaan dan profesi serta tempat tinggal tersebut memiliki kepentingan
berbeda bahkan saling bertentangan.
Kemajemukan vertical ialah struktur masyarakat yang
berlawanan menurut pemilikan kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan. Kemajemukan
vertical dapat menimbulkan konflik sebab sebagian besar masyarakat tidak
memiliki atau hanya memiliki sedikit kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan akan
memiliki kepentingan yang bertentangan dengan kelompok kecil masyarakat yang
mendominasi. Jadi, kekayaan, pengetahuan, dan kekuasaan merupakan penyebab
utama tmbulnya suatu konflik politk. Akan tetapi, kenyataan menunjukkan
perbedaan kepentingan karena kemajemukan horizontal dan vertical tidak dengan
sendirinya menimbulkan konflik. Hal ini disebabkan adanya fakta terdapat
sejumlah masyarakat yang menerima perbedaan-perbedaan tersebut.
Perbedaan-perbedaan masyarakat ini baru menimbulkan konflik, apabila kelompok
tersebut memperebutkan sumber yang sama, seperti kekuasaan, kesempatan, dan
lain sebagainya. Konflik
terjadi manakalah terdapat benturan kepentingan. Dalam rumusan lain dapat
dikemukakan konflik terjadi jika pada pihak yang merasa diperlakukan tidak adil
atau manakala pihak berprilaku menyentuh” titik kemarahan ‘ pihak lain. Dengan
kata lain, perbedaan kepentingan karena kemajemukan vertical dan horizontal
merupakan kondisi yang harus ada bagi timbulnya konflik, tetapi perbedaan
kepentingan itu bukan kondisi yang memadai untuk menimbulkan konflik.[5]
D. Tujuan Konflik
Politik
Adapun tujuan konflik sebagai berikut:
1. Pihak-pihak
yang terlibat dalam konflik memiliki tujuan yang sama, yakni sama-sama berupaya
mendapatkan kekuasaan, kekayaan, kesempatan, dan kehormatan.
2. Disatu
pihak hendak mendapatkan, sedangkan di pihak
lain berupaya keras mempertahankan apa yang dimiliki.
Misalnya konflik
yang terjadi pada Pemilihan Umum tahun 1977, 1928, 1987 dan 1992 antara partai
Persatuan Pembangunan (PPP) dan Partai Demokrasi Indonesia (PDI) yang berupaya
keras mendapatkan kursi sebanyak-banyaknya di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) dan Golongan Karya (GOLKAR) yang berupaya
keras pula mempertahankan kursi mayoritas yang selama ini dipegannya di DPR dan
DPRD.[6]
E. Macam- macam konflik Politik
Konflik politik dibagi menjadi dua macam. Kedua
macam ini meliputi konflik positif dan konflik negative. Yang dimaksud dengan
konflik positif ialah konflik yang tak mengancam eksistensi system politik, yang biasanya disalurkan lewat mekanisme penyelesaian
konflik yang disepakati bersama dalam konstitusi. Mekanisme yang dimaksud ialah
lembaga-lembaga demokrasi, seperti : partai politik, badan-badan perwakilan
rakyat,pengadilan, pemerintah, pers dan forum-forum terbuka yang lain. Tuntutan
akan perubahan yang diajukan oleh sejumlah kelompok masyarakat melalui
lembaga-lembaga itu merupakan contoh konflik positif. Sebaliknya, konflik
negatif ialah konflik yang dapat mengancam eksistensi sistem politik yang
biasanya disalurkan melalui cara-cara nonkonstitusional, seperti kudeta, separatisme,
terorisme, dan revolusi.
Kategorisasi ini
mengandung kelemahan. Apabila mayoritas masyarakat memandang lembaga dan
struktur yang ada tidak mencerminkan kepentingan umum maka konflik yang
negatif. Sebaliknya, tindakan yang menentang sistem yang tidak mencerminkan
kepentingan umum dipandang sebagai konflik yang positif. Berdasarkan uraian
diatas disimpulkan bahwa untuk menentukan suatu konflik bersifat positif atau
negatif sangat bergantung pada persepsi kelompok yang terlibat dalam konflik,
terutama pada sikap masayarakat umum terhadap sistem politik yang berlaku.
Dalam hal ini, yang menjadi patokan untuk menentukan suatu konflik bersifat
positif atau negatif, yakni tingkat legitimasi sistem politik yang ada. Hal ini
dapat dilihat dari dukungan masyarakat umum terhadap sistem politik yang
berlaku.
Sehubungan dengan
konflik positif dan negatif maka sesungguhnya masyarakat, dapat dikelompokkan
secara umum menjadi dua tipe. Pertama, masyarakat yang mapan. Artinya,
masyarakatyang memiliki dan mendayagunakan struktur kelembagaan yang diatur
dalam konstitusi. Konflik yang dianggap positif dalam masyarakat ini berupa
konflik yang disalurkan melalui struktur kelembagaan, sedangkan konflik yang
negatif berupa tindakan yang menentang struktur yang ada dan yang disalurkan
melalui cara-cara diluar struktur kelembagaan yang ada. Kedua, masyarakat yang
belum mapan. Artinya, masyarakat yang belum memiliki struktur kelembagaan yang
mendapat dukungan penuh dari seluruh masyarakat. Biasanya struktur kelembagaan
yang diatur dalam konstitusi, selain tidak didukung oleh sebagian masyarakat,
juga belum berfungsi sebagimana mestinya. Konflik yang dianggap positif dalam
masyarakat ini acap kali justru konflik yang disalurkan melalui cara-cara
diluar struktur kelembagaan yang ada karena dianggap lebih efektif.
Kategorisasi itu tentu lebih bersifat analitis (lebih kurang) daripada
pengelompakan secara hitam putih. Sebab dalam kenyataan, konflik dan dukungan
masyarakat terhadap sistem yang ada (struktur kelembagaan) tidak sederhana itu.
F. Konflik dan Proses Politik
Konflik merupakaan
gejala serba hadir dalam kehidupan manusia bermasyarakat dan bernegara.
sementara itu, salah satu dimensi penting proses politik ialah penyelesaian konflik yang
melibatkan pemerintah. Proses dalam ”penyelesaian” konflik politik yang tak bersifat kekerasan dibagi menjadi 3 tahap, meliputi:
1. Tahap politisasi
dan atau koalisi
2. Tahap pembuatan
keputusan
3. Tahap pelaksaan dan
integrasi
Apabila
dalam masyarakat terdapat konflik politik diantara berbagai pihak dengan segala
motifasi yang mendorongnya maka masing-masing pihakakan berupaya merumuskan dan
mengajukan tuntutan kepada pemerintah selaku pembuat dan pelaksanaan keputusan
politik. Agar tuntutan mendapatperhatian dari pemerintah, lalu para kontestan
aka berusaha mengadakan politisasi. Artinya, memasyarakatkan tuntutannya
melalui berbagai media komunikasi sehingga menjadi isu-isu politik.
Setelah
diputuskan berkoalisi atau tidak, langkah selanjutnya berusaha untuk
mempengaruhi pembuat keputusan politik, agar
yang terakhir ini mengabulkan tuntutannya. Pemerintah selaku pembuat
keputusan politik tentu tidak begitu saja menerima tuntutan dari masyrakat. Dalam hal ini terdapat dua
kemungkinan ketika menanggapi tuntutan berbagai kelompok dalam masyarakat,
yakni:
1.
Menolak tuntutan dengan tiga alasan utama yaitu: satu,
tuntutan kelompok masyarakat tidak menyenangkan dirinya (alasan subyektif).
Kedua. Kelompok tuntutan masyarakat menempati urutan prioritas yang rendah
(alasan pragmatik). Dan yang terakhir, tuntutan kelompok masyarakat
bertentangan dengan idiologi bangsa (alasan konstitusi).
2.
Menerima tuntutan kelompok masyarakat secara tuntas
maupun secara marginal, maksudnya ialah, keputusan yang dibuat oleh poemerintah dalam menanggapi suatu tuntutan masyarakat dapat menyelesaikan
konflik secara menyeluruh dan mengakar dan keputusan yang dibuat pemerintah
dalam menanggapi suatu tuntutan hanya
menyelesaikan permasalahan sehingga tidak mampu menyelesaikan konflik secara
tuntas.
Apabila pemerintah
menerimasebagian atau seluruh tuntutan berbagai kelompok yang berkonflik dalam masyarakat maka tahap berikut melaksanakan keputusan itu
dalam kenyataan politik. Hal ini disebabkan keputusan tanpa pelaksanakan secara
nyata dalam wujud alokasi anggaran atau pun dalam wujud penegakan hukum oleh aparat yang berwenang tidak akan menyelesaikan konflik.
mohon maaf kak ini boleh aku coopy dan reckap ulang tdk?
BalasHapusthanks kak,sangat membantu mampir yak
BalasHapusYeah thankyou sisgan
BalasHapusthanks very useful
BalasHapus